Hadapi Perubahan Iklim, Sulsel Perlu Pertumbuhan Ekonomi Hijau

Hadapi Perubahan Iklim, Sulsel Perlu Pertumbuhan Ekonomi Hijau

Pedomanrakyat.com, Makassar – Dalam upaya mempertahankan pertumbuhan ekonomi di tengah tantangan perubahan iklim dan keterbatasan daya dukung lingkungan, Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan menyusun Rencana Induk dan Peta Jalan Pertumbuhan Ekonomi Hijau alias Green Growth Plan (GGP) Sulsel.

Dokumen ini berisi berbagai rekomendasi kebijakan untuk mengelola sumber daya alam berbasis lahan – pertanian, perkebunan, kehutanan, serta wilayah pesisir dan kelautan – secara berkelanjutan.

GGP Sulsel dirumuskan melalui kolaborasi Pemprov Sulsel, melalui Badan Perencanaan, Penelitian, dan Pengembangan Daerah (Bappelitbangda), dengan ICRAF Indonesia, sebagai bagian dari proyek Land4Lives yang didukung oleh Pemerintah Canada.

Dokumen GGP Sulsel dikonsultasikan ke publik dalam forum Perencanaan Pertumbuhan Ekonomi Hijau yang Berketahanan Iklim, Pangan, dan Responsif Gender di Makassar, 27 Februari 2025. Forum ini dibuka oleh Sekda Sulsel Dr. H. Jufri Rahman, M.Si dan dihadiri oleh Duta Besar Kanada untuk Indonesia dan Timor Leste H. E. Jess Dutton.

Alasan Sulsel perlu pertumbuhan ekonomi hijau

Dampak perubahan iklim telah dirasakan nyata oleh Sulawesi Selatan. Cuaca ekstrem yang diperparah oleh perubahan iklim telah mengakibatkan banyak bencana alam seperti banjir, tanah longsor, dan krisis air bersih.

Dampak perubahan iklim juga dirasakan pada sektor pertanian, dengan penurunan produktivitas beberapa komoditas unggulan Sulsel seperti kakao dan padi.

Produksi kakao di Sulsel telah menurun sejak tahun 2010, menurut asosiasi pengusaha kakao, akibat cuaca ekstrem yang diperparah oleh perubahan iklim dan kondisi tanaman yang sudah menua [1].

Faktor lain yang menyebabkan turunnya produktivitas adalah kondisi tanah yang sudah tidak mendukung atau ‘letih’ [2] Selama ini, peningkatan produksi komoditas pertanian cenderung melalui ekstensifikasi daripada intensifikasi, sehingga mendorong alih fungsi lahan.

Produksi padi juga terkena imbas perubahan iklim. Menurut riset, setiap kenaikan suhu udara sebesar 1 derajat celsius setahun akan menurunkan produksi padi sekitar 4.500 ton di setiap provinsi di Indonesia [3]. Hal ini menyajikan tantangan bagi Sulsel sebagai penghasil padi terbesar ke-4 di seluruh Indonesia.

Kerugian akibat perubahan iklim bisa jadi lebih buruk dengan praktik-praktik pengelolaan bentang lahan dan pembangunan yang kurang memperhatikan daya dukung lingkungan. Menurut Dinas Kehutanan Sulsel, terdapat lebih dari 500.000 hektare lahan kritis di seluruh provinsi Sulsel [4].

Penyebab utama lahan kritis adalah penggundulan dan degradasi lahan yang disebabkan oleh aktivitas manusia seperti penebangan hutan ilegal, pembukaan lahan tanpa konservasi, dan alih fungsi lahan.

Masyarakat rentan, terutama yang menggantungkan hidupnya pada sumber daya alam, menghadapi kerentanan khusus terhadap perubahan iklim. Persoalan lahan kritis, misalnya, menempatkan petani pada dilema antara memenuhi kebutuhan hidup atau menjaga lingkungan dari erosi dan banjir.

Begitu pula dengan perempuan, yang karena berbagai faktor – termasuk faktor budaya – sangat terpengaruh oleh kekeringan dan perubahan pola curah hujan.

Semua ini menyajikan tantangan serius bagi ekonomi Sulawesi Selatan, yang masih mengandalkan sektor lahan. Bagaimanapun, kapasitas lingkungan untuk mendukung berbagai kegiatan manusia ada batasnya. Jika batas itu diabaikan, risiko bencana akan semakin besar dan dampaknya bisa dirasakan oleh generasi masa depan.

Di hadapan tantangan perubahan iklim yang semakin nyata, jelas bahwa Sulawesi Selatan tidak bisa melanjutkan kegiatan seperti biasa, atau “business as usual”. Penanganan perubahan iklim yang baik hanya bisa terjadi jika Pemprov Sulsel memiliki rencana pembangunan yang mampu memastikan ekonomi tumbuh dan lingkungan terjaga.

Sulsel juga perlu menguatkan ketahanan masyarakat terhadap dampak perubahan iklim; terutama masyarakat rentan, khususnya perempuan dan anak perempuan.

Salah satu cara mencapai tujuan tersebut ialah menyelaraskan tujuan pembangunan dengan kesehatan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat, sehingga manfaat pembangunan dapat dinikmati oleh generasi masa depan. Inilah yang melatarbelakangi penyusunan Rencana Induk dan Peta Jalan Pertumbuhan Ekonomi Hijau Sulsel.

Dukungan terhadap rencana pertumbuhan ekonomi hijau Sulsel

Dalam pidatonya di konsultasi publik Rencana Induk Pertumbuhan Ekonomi Hijau Sulsel, Duta Besar Kanada untuk Indonesia dan Timor Leste menyatakan dukungan pada pertumbuhan ekonomi hijau di Sulawesi Selatan. H.E. Jess Dutton mengatakan:

“Perubahan iklim memberikan dampak yang semakin besar bagi kita semua. Inilah mengapa kami bangga bermitra dengan pemerintah provinsi Sulawesi Selatan dan ICRAF melalui Land4Lives, yang membantu petani dan masyarakat mengadopsi praktik pertanian cerdas iklim, menanam lebih banyak pangan, dan meningkatkan pendapatan. Proyek Land4Lives membantu membangun fondasi Sulawesi Selatan yang lebih tangguh terhadap iklim dan lebih makmur.”

Dilaksanakan oleh ICRAF Indonesia dengan dukungan pendanaan dari Kanada, Land4Lives bertujuan meningkatkan penghidupan dan ketahanan pangan petani terhadap perubahan iklim, serta melestarikan lingkungan hidup di tiga provinsi di Indonesia – Sulawesi Selatan, Sumatera Selatan, dan Nusa Tenggara Timur. Di Sulawesi Selatan, Land4Lives bekerja sama dengan Pemprov melalui Bappelitbangda dan Pemkab Bone melalui Bappeda.

Proses penyusunan Rencana Induk dan Peta Jalan Pertumbuhan Ekonomi Hijau

Penyusunan rencana induk dimotori oleh Pokja Pertumbuhan Ekonomi Hijau Sulawesi Selatan, sebuah forum multipihak yang melibatkan pemerintah daerah, sektor swasta, akademisi, dan organisasi masyarakat sipil sebagai pemangku kepentingan.

Perencana Ahli Muda Bappelitbangda Sulsel sekaligus ketua tim pelaksana Pokja, Setiawan Aswad, mengatakan, rencana ini dirancang untuk menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dengan kesehatan lingkungan serta kesejahteraan masyarakat.

“Kami ingin buktikan bahwa pembangunan tidak mesti mengorbankan aspek sosial dan kesehatan lingkungan,” ujarnya.

Setiawan menjabarkan empat tujuan pertumbuhan ekonomi hijau Sulawesi Selatan: ekosistem yang sehat dan produktif; pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, inklusif, adil, dan merata; penghidupan yang adaptif terhadap dinamika ekonomi, sosial, dan lingkungan; dan pengendalian emisi gas rumah kaca dari sektor berbasis lahan, termasuk ekosistem pesisir.

Dokumen ini juga memuat beberapa rekomendasi untuk mengatasi bencana-bencana alam yang sering terjadi di Sulawesi Selatan akibat cuaca ekstrem yang diperparah oleh perubahan iklim, misalnya banjir, longsor, dan krisis air bersih.

Rekomendasi tersebut antara lain: melindungi hutan dengan tidak membiarkan deforestasi dan degradasi di area konservasi dan area lindung, menerapkan aturan tentang penggunaan lahan sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), dan revitalisasi komoditas-komoditas pertanian unggulan Sulsel seperti kakao, kopi, padi, dan jagung.

Untuk menuntun implementasi rencana pertumbuhan ekonomi hijau, dokumen ini juga menyertakan peta jalan, yang menjabarkan tahapan waktu pelaksanaan aktivitas, pembagian peran, sampai identifikasi sumber-sumber pembiayaan.

Pokja berharap, rekomendasi-rekomendasi dalam rencana induk ini dapat mendukung rencana pembangunan jangka panjang dan menengah (RPJPD dan RPJMD) provinsi Sulawesi Selatan.

Proses inklusif, integratif, dan terinformasi

Direktur ICRAF Indonesia Andree Ekadinata menjelaskan, Bappelitbangda telah bekerja sama dengan ICRAF Indonesia di bawah proyek Land4Lives sejak 2021. Rencana Induk dan Peta Jalan Pertumbuhan Ekonomi Hijau adalah salah satu buah dari kerja sama tersebut.

ICRAF, sebagai organisasi riset agroforestri yang telah aktif di Indonesia sejak 1996, menyumbangkan kecakapan saintifiknya serta mendampingi seluruh proses penyusunan rencana ini.

Secara keseluruhan, kata Andree, proses penyusunan rencana berpegang pada tiga prinsip: inklusif, integratif, dan informatif. Inklusif artinya melibatkan semua pemangku kepentingan – menampung aspirasi dari semua kabupaten/kota di Sulsel, organisasi perempuan, dan masyarakat sipil melalui forum-forum, termasuk konsultasi publik.

“Rencana ini juga mempertimbangkan perbedaan kebutuhan gender dan kelompok masyarakat sebagai dasar perencanaan strategi, intervensi, kegiatan, hingga indikator keberhasilan,” ujarnya.

Integratif artinya mengintegrasikan berbagai dokumen perencanaan di daerah. Sedangkan informatif artinya dokumen perencanaan disusun berdasarkan bukti-bukti ilmiah serta data-data yang sahih dan termutakhir.

Dia menambahkan, rencana ini mendukung visi pembangunan Sulawesi Selatan 2025–2045, yang menekankan kemandirian, kemajuan, dan keberlanjutan.

“Dengan mengadopsi pendekatan pertumbuhan ekonomi hijau, Sulsel dapat membangun ketahanan terhadap perubahan iklim, memulihkan produktivitas kakao dan padi melalui intensifikasi pertanian, serta memastikan pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan bagi generasi mendatang,” pungkas Andree.

Berita Terkait
Baca Juga