Ini Alasan OJK Masih Perpanjang Restrukturisasi Covid-19

Ini Alasan OJK Masih Perpanjang Restrukturisasi Covid-19

Pedomanrakyat.com, Jakarta – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan bahwa sudah banyak negara di dunia yang menjalankan normalisasi kebijakan restrukturisasi kredit Covid-19.

Namun, OJK masih memperpanjang kebijakan restrukturisasi kredit secara terbatas.

Direktur Eksekutif Penelitian dan Pengaturan Perbankan OJK Anung Herlianto mengatakan bahwa berdasarkan hasil survei International Monetary Fund (IMF), terdapat 51 negara di dunia sudah menormalisasi kebijakan restrukturisasi Covid-19 mereka.

“Di negara G20, hanya Indonesia yang masih menjalankan restrukturisasi,” ujarnya dalam seminar virtual yang digelar oleh Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) pada Kamis (19/1/2023).

Dia mengatakan OJK masih memperpanjang restrukturisasi Covid-19 karena mempertimbangkan adanya potensi cliff effect.

Menurutnya, ketika restrukturisasi terlalu cepat dihentikan maka akan menimbulkan cliff effect di industri perbankan.

“Kemudian, terjadi kredit crunch [kegentingan] yang akan menghambat pemulihan ekonomi,” imbuhnya.

OJK sendiri memperpanjang restrukturisasi Covid-19 dari sebelumnya sampai Maret 2023 menjadi sampai Maret 2024 secara terbatas kepada tiga segmen dan wilayah tertentu saja.

Tiga segmen yang diperpanjang restrukturisasinya adalah usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), penyediaan akomodasi dan makan-minum, serta beberapa industri yang menyediakan lapangan kerja besar.

Pemilihan segmen dan wilayah tertentu juga dilakukan melalui berbagai pertimbangan.

“Kami pertimbangkan PDB [produk domestik bruto] secara sektoral dan wilayah. Pada akhirnya kami ajukan di RDK [rapat dewan komisioner] OJK beberapa model, dan terjaring sektor akomodasi, makan dan minum yang jadi masalah karena efek merosotnya pariwisata selama pandemi,” ungkap Anung.

Selain itu, sektor industri yang menyediakan lapangan kerja besar juga butuh insentif.

Pada sektor UMKM, menurutnya sektor mikro dan kecil sudah pulih, tapi masalah ada di sektor menengah.

“Ini yang kami khawatirkan ada efek rembetan,” katanya.

Sementara, berdasarkan wilayah, OJK masih mempertimbangkan bahwa Provinsi Bali belum pulih sepenuhnya dari Covid-19.

Meski begitu, OJK mempertimbangkan bahwa restrukturisasi yang berkepanjangan akan menimbulkan dampak negatif seperti moral hazard.

“Ada budaya tidak membayar, budaya mengemplang, dan budaya membayar seenaknya,” ujar Anung.

Di sisi lain, berdasarkan data yang dirilis OJK, nilai restrukturisasi kredit perbankan terus menyusut.

Per November 2022, nilai restrukturisasi kredit mencapai Rp499,87 triliun, turun Rp13,27 triliun dalam sebulan.

 

Berita Terkait
Baca Juga