Jika Benar Tak Hamil, Wanita Korban yang Dipukul Satpol PP Gowa Terancam Penjara 6 Tahun
Pedoman Rakyat, Makassar – Kasus pemukulan pasangan suami istri (pasutri) oleh oknum Satpol PP Gowa terhadap pemilik kafe masih terus dibahas. Pelaku diketahui sekarang ini sudah dilakukan penahanan oleh pihak Polres setempat.
Kini, melebar kepada pasutri yang menjadi korban.
Publik juga dibuat penasaran terkait keterangan korban yang mengaku dirinya tengah hamil. Akhirnya, kehamilannya menjadi kontroversi.
Melalui sebuah video yang beredar, wanita berinisial A itu mengaku sendiri kehamilannya memang tidak bisa dijangkau logika.
“Saya lakukan pengobatan, bisa tengok FB saya. Bulan-bulan perut saya memang berbeda. Saya memang tidak anjurkan ke dokter. Ini menurut saya sendiri karena saya memang untuk pengobatan,” katanya.
“Ada buktinya pengobatan, kalau ke dokter memang tidak nampak. Bisa buka semua FB saya tiap bulan saya bagaimana. Sebentar kadang ini besar, sebentar kempes,” lanjutnya
Akademisi Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, Hasnan Hasbi, ikut merespon hal itu.
Ia mengatakan bahwa pihak kepolisian juga harus memproses klaim kehamilan sang korban yang bernama Riyana.
Sebab, menurutnya, kehamilan korban menjadi pemicu insiden penganiayaan itu viral dan menjadi atensi nasional.
“ketika itu tidak benar, itu menjadi keterangan palsu,” kata Hasnan, Selasa (20/7/2021).
Dosen Fakultas Hukum UMI itu menyatakan bahwa pemukulan yang dilakukan Mardani tidak bisa dibenarkan dan harus dipertanggungjawabkan melalui proses hukum, terlebih korban sudah melapor.
Akan tetapi, terkait keterangan soal kehamilan sang korban menurutnya pun harus dibuktikan.
“Tetapi aparat penegak hukum tidak boleh tinggal diam dengan keterangan atau statement (hamil) yang menjadi isu liar yang disampaikan oleh korban,” tambahnya.
“Kenapa? Karena kronologi perbuatan terlapor tidak terpisah dengan keterangan saksi pelapor/korban agar semua keterangan-keterangan dapat dipertanggungjawabkan.”
“Ketika keterangan yang diterima masyarakat melalui media bahwa korban hamil ternyata tidak benar, maka berita itu termasuk keterangan palsu atau berita hoaks. Itu bisa dikenakan UU ITE Nomor 11 Tahun 2008 Pasal 28 ayat 2 tentang berita bohong dengan ancaman pidana enam tahun penjara dan atau denda Rp6 miliar,” jelasnya.
Ia juga menyebut bahwa pihak kepolisian tidak perlu menunggu laporan polisi terkait klaim kehamilan korban di mana keterangan tersebut harus dipertanggungjawabkan secara hukum.
“Itu delik biasa. Polisi tidak perlu laporan karena masyarakat yang dirugikan. Tidak perlu aduan untuk memprosesnya. Bukan media yang keliru, tapi sumber keterangan, yakni korban yang dianggap tidak menyampaikan keterangan yang tidak benar atau hoax karena validitas kehamilan belum bisa dibuktikan,” paparnya.
“Akibatnya, itu mengundang huru-hara dan ganggu ketentraman di masyarakat. Keterangan korban (hamil) harus dipertanggungjawabkan,” demikian Hasnan Hasbi.