Pedomanrakyat.com, Jakarta – Beberapa waktu ini marak beredar sebuah tulisan yang menyebut bahwa jual beli dengan aplikasi GoPay dan GoFood adalah riba.
Riba terjadi akibat bersatunya akad utang yang direpresentasikan oleh fitur deposit GoPay dengan diskon.
Diskon berupa potongan harga akibat penggunaan deposit dalam transaksi ini yang kemudian disebut oleh salah satu ustadz tersebut dipandang sebagai riba. Riba terjadi akibat mengutangi perusahaan penyedia layanan GoPay, OVO dan GoFood selanjutnya pihak yang mengutangi mendapat imbal manfaat berupa potongan harga.
Baca Juga :
Selanjutnya, ustadz tersebut merekomendasikan sejumlah alternatif agar selamat dari riba pemanfaatan aplikasi tersebut, antara lain:
• Dipersilakan menggunakan GoPay namun harus memastikan agar saat membuka rekening di bank yang terdapat fasilitas GoPay-nya, kita diminta menghilangkan klausa pertambahan atas uang yang disimpan (diutangkan), dan akad tentang tambahan bunga tiap bulannya harus dihilangkan.
• Dipersilakan menggunakan GoPay namun diimbau agar tidak menerima tambahan manfaat berupa discount itu supaya tidak terjadi riba dalam muamalah Ojek Online dan GoPay tersebut.
• Jika tidak bisa menghilangkan diskon atau potongan harga dari GoPay, maka dipersilakan melakukan pembayaran kontan.
Sebenarnya penulis sudah pernah membahas kasus ini dari sudut pandang literasi fiqih klasik. Perbedaan penulis dalam hal ini dan ustadz tersebut sebenarnya pada sisi cara pembacaan dan cara menempatkan duduk masing-masing elemen penyusun GoPay dan aplikasi sejenisnya.
Ada beberapa poin yang lepas dari sisi pengamatan sang ustadz tersebut selaku pengkaji di atas, antara lain sebagai berikut:
Pertama, di dalam fitur GoPay, OVO dan Go-Food, semua barang yang dipesan sudah ditetapkan harganya oleh perusahaan. Fitur ini sama sekali tidak disinggung oleh ustadz tersebut melainkan hanya berfokus pada pembacaan bahwa pembeli telah mengutangi pihak GoPay yang selanjutnya ia mendapatkan imbalan karenanya.
Yang benar dalam hal ini sebenarnya imbalan dari deposit yang disimpan di dalam GoPay, atau diskon harga makanan? Jika imbalan berupa potongan harga itu adalah disebabkan diskon harga makanan, mengapa diskon ini tidak boleh diberikan? Padahal harga produk yang dijual sudah jelas.
Sama seperti dengan seandainya ada seorang pedagang baju dititipi uang oleh rekannya. Kebetulan rekannya tersebut hendak belanja baju ke tempat si pedagang yang dititipinya. Dan pedagang sudah menetapkan bahwa saat itu tengah ada diskon pembelian buat semua pelanggan.
Lantas, si rekan yang tengah butuh baju tadi membeli apa yang diperlukannya ke pedagang tersebut sehingga ia berhak menerima diskon dari pedagang, apakah diskon semacam ini dipandang sebagai riba? Tentu tidak, bukan?
Bukankah pula uang yang dititipkan tersebut termasuk akad wadi’ah. Sebagaimana deposit yang terdapat dalam fitur GoPay yang kemudian dibahasakan oleh sang ustadz sebagai bank adalah juga mengikuti prinsip akad wadi’ah yadu al-dhammanah (akad titip dengan jaminan keamanan nilai) ini?
Inilah uniknya. Semua hal yang krusial justru tidak mendapatkan sorotan oleh pengkaji pada tulisan tersebut.
Kedua, akad wakalah ditambah imbalan kepada pihak driver tidak menjadi dasar pertimbangan utama sang pengkaji dalam tulisan tersebut. Ia menilai bahwa si driver telah mengutangi terlebih dahulu pihak konsumen untuk membeli barang, lalu barang yang sudah ada di tangannya dijual kembali dengan mengambil keuntungan.
Ia menyebut akad ini sebagai akad jual beli yang digabung dengan pesan. Selisih harga beli dari toko dengan harga yang diberikan kepada konsumen driver dipandang sebagai riba karena faktor utang piutang tersebut.
Sang pengkaji di sini tidak melihat sama sekali, apakah utang tersebut merupakan yang dikehendaki oleh konsumen ataukah tidak? Bukankah utang itu merupakan hal yang sebenarnya tidak dikehendaki oleh konsumen?
Andaikan pihak yang dipesani sudah datang dengan membawa barang yang dipesan, tentu pihak pemesan pun juga ada jaminan untuk membayarnya. Yang menjamin adalah undang-undang perlindungan produsen dan konsumen.
Keberadaan Undang-Undang ini dibentuk disebabkan ada faktor relasi yang harus dijamin seiring perlindungan konsumen dan produsen yang saat transaksi tidak mengenal satu sama lain dan harus ada perusahaan lain yang bergerak menjadi wasîlah (perantara) di antara keduanya.
Sebuah ilustrasi, ada seorang pembeli ingin membeli sesuatu di pasar. Lalu ia bertemu dengan pengendara sepeda motor yang ditemuinya di jalan agar sudi membelikan kebutuhannya.
Lalu, tanpa adanya jaminan apa pun ia menyerahkan sejumlah uang kepada pemilik kendaraan tersebut. Amankah kira-kira model transaksi semacam ini? Tentu tidak, bukan? Berbeda, apabila si pemilik kendaraan bermotor itu adalah pihak yang berada di bawah sebuah koordinasi perusahaan yang bergerak dalam bidang jasa kemudian proses titipnya melewati mekanisme tertentu yang disepakati keduanya.
Ketidakamanahan utusan perusahaan yang ditugaskan mewujudkan pesanan konsumen, akan menjadi dapat dipertanggungjawabkan seiring ada jaminan dari perusahaan yang mengoordinasinya. Karena bagaimanapun, lancarnya orderan perusahaan, sehingga berbuah pada keuntungan perusahaan adalah bergantung pada bagaimana pelayanannya kepada konsumen. Sebagaimana sebuah qaidah:
الخراج بالضمان
Artinya, “Output (untung-rugi) adalah berbanding lurus dengan risiko (bagaimana perusahaan menerapkan jaminan pelayanannya).”
Utang konsumen merupakan imbas samping dari pemakaian aplikasi saat pengguna jasa aplikasi GoPay, OVO dan Go-Food melakukan deal pemesanan makanan dengan harga yang sudah tertera. Jadi, sampai di sini, seharusnya berlaku kaidah fiqih bahwasanya:
العبرة في العقود للمقاصد و المعاني لا للألفاظ والمباني
Artinya, “Akad bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan dan juga makna yang terkandung di dalamnya, dan bukan sekadar ucapan dan juga ungkapan.”
Maslahah yang dikehendaki dan berlaku universal pemakaian aplikasi GoPay, OVO dan Go-Food adalah kemudahan konsumen mendapatkan kebutuhannya sementara ia masih bisa melaksanakan tugas pokoknya yang lain. Kemaslahatan bagi perusahaan adalah lancarnya jasa yang ia tawarkan diorder oleh konsumen.
Keharusan memerinci satu per satu agar tidak memenuhi unsur jahâlah dalam jual beli justru dapat berujung pada mempersulit konsumen dan bisa menambah cost (biaya) yang dikeluarkannya. Kesulitan semacam ini termasuk bagian dari mafsadah yang harus dihindari, sebagaimana kajian kita dalam maqashid Imam Anas bin Mâlik yang telah kita lewati terdahulu.
Prinsip yang harus dijaga produsen adalah semakin banyak konsumen melakukan order, semakin banyak pula keuntungan yang ia dapatkan. Sebaliknya, semakin sedikit konsumen melakukan order, semakin sedikit pula keuntungan yang diterimanya.
Agar banyak mendapatkan order, maka ia harus amanah, sebagaimana hal ini adalah praktik yang disetujui oleh syariat. Wallâhu a’lam bi al-shawâb.
Ustadz Muhammad Syamsudin, Pengasuh Pesantren Hasan Jufri Putri Pulau Bawean
Komentar