Pedomanrakyat.com, Jakarta – Kejaksaan Agung menjelaskan asal-usul kerugian negara Rp 300 triliun dalam dugaan korupsi di wilayah Izin Usaha Pertambangan PT Timah Tbk periode 2015-2022. Menurut Kepala Pusat Penerangan dan Hukum Kejaksaan Agung Harli Siregar, nilai kerugian itu masih kerap disalahartikan oleh masyarakat yang mengira uang itu dinikmati oleh para terdakwa korupsi timah.
“Jadi supaya masyarakat bisa memahami bagaimana kerugian Rp 300 triliun tersebut,” kata Harli pada Selasa, 31 Desember 2024. Harli menyebut nilai spesifik jumlah kerugian dalam korupsi pengelolaan tata niaga timah adalah sebesar Rp 300.003.263.938.131,14.
Nilai tersebut berasal dari aspek-aspek kerugian negara yang memiliki hitungannya masing-masing. Pertama, Harli menyampaikan kerja sama penyewaan alat processing penglogaman timah yang tidak sesuai prosedur merugikan negara sebesar Rp Rp2,28 triliun. Nilai kerugian itu akibat adanya pembayaran kepada lima smelter swasta yang bekerja sama dengan PT Timah dikurangi dengan harga pokok penjualan (HPP) smelter PT Timah.
Baca Juga :
Smelter swasta yang dimaksud adalah PT Refined Bangka Tin, CV Venus Inti Perkasa, PT Sariwiguna Binasentosa, PT Stanindo Inti Perkasa dan PT Tinindo Internusa. Setelah itu, Harli juga menyebut jenis kerugian lain yang ditanggung oleh negara. “Kerugian keuangan negara atas pembayaran bijih timah dari tambang timah ilegal Itu Rp 26,6 triliun,” ujar Harli.
Harli mengatakan kerugian terbesar yang diakibatkan oleh tindak pidana korupsi ini adalah kerusakan lingkungan akibat aktivitas pertambangan ilegal. Menurut Harli, ahli lingkungan hidup telah menghitung bahwa kerugian negara mencapai Rp 271 triliun yang terdiri dari segi ekologi, ekologi lingkungan dan biaya pemulihannya.
Total kerugian negara Rp 300 triliun berasal dari hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang juga telah terbukti dalam fakta persidangan korupsi PT Timah. Dalam sidang putusan para terdakwa, hakim anggota Suparman Nyompa membacakan kalkulasi aliran dana yang diterima oleh para terdakwa.
Suparman menjelaskan uang kerugian negara sebesar itu antara lain mengalir kepada beberapa terdakwa maupun korporasi yang terlibat kasus korupsi timah, yakni Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Bangka Belitung periode 2021–2024 Amir Syahbana sebesar Rp 325,99 juta.
Kemudian, Direktur Utama PT Refined Bangka Tin (RBT) Suparta melalui PT RBT sebesar Rp 4,57 triliun, Pemilik Manfaat CV Venus Inti Perkasa (VIP) dan PT Menara Cipta Mulia (MCM) Tamron alias Aon melalui CV VIP senilai Rp 3,66 triliun, serta Direktur PT Sariwiguna Binasentosa (SBS) Robert Indarto melalui PT SBS sejumlah Rp1,92 triliun.
Lalu, kepada Pemilik Manfaat PT Stanindo Inti Perkasa (SIP) Suwito Gunawan alias Awi melalui PT SIP sebanyak Rp 2,2 triliun, Pemilik Manfaat PT Tinindo Inter Nusa (TIN) Hendry Lie melalui PT TIN sebesar Rp 52,57 miliar, dan sebanyak 375 mitra jasa usaha pertambangan senilai Rp 10,38 triliun.
Menguntungkan pula CV Indo Metal Asia dan CV Koperasi Karyawan Mitra Mandiri (KKMM) sebesar Rp 4,14 triliun serta Direktur Keuangan PT Timah periode 2016–2020 Emil Ermindra dan Direktur Utama PT Timah Tbk periode 2016-2021 Mochtar Riza Pahlevi Tabrani melalui CV Salsabila Utama sebesar Rp 986,79 miliar.
Terdapat pula uang sebesar Rp 420 miliar yang merupakan pengumpulan dana dari para smelter swasta melalui PT Quantum Skyline Exchange (QSE) yang dikelola perpanjangan tangan PT RBT Harvey Moeis dan Manajer PT QSE Helena Lim, yang penggunaannya tidak dapat diketahui karena tidak ada pencatatan, baik oleh Harvey maupun Helena.
“Dengan demikian para terdakwa (korupsi timah) yang menikmati uang tersebut dibebankan pula uang pengganti atas kerugian negara,” kata Suparman di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin, 23 Desember 2024.
Komentar