Pedomanrakyat.com, Jakarta – Wakil Ketua Komisi III DPR RI periode 2019-2024 Ahmad Sahroni mendorong mitra kerja, khususnya Kejagung, KPK, dan Polri memaksimalkan aspek pengembalian kerugian negara secara maksimal.
“Terlebih untuk Kejagung, KPK, dan Polri, harus mulai menggeser paradigma penegakkan hukum. Jadikan penjara badan sebagai opsi terakhir. Kini yang menjadi prioritas utama adalah cara pengembalian kerugian negara yang ditimbulkannya. Bisa dengan memaksa pelaku membayar dengan jumlah besar melebihi nilai korupsinya,” ungkap Sahroni dalam keterangannya, Rabu (16/10).
Hal tersebut disampaikan Sahroni merespons laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) terkait data tentang perbedaan tuntutan uang pengganti kasus korupsi, antara Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Baca Juga :
“Intinya, jangan sampai kita biarkan uang negara terus-menerus menguap, dimaling, dan dibiarkan tidak kembali begitu saja. Kalau begitu terus, ujungnya yang rugi pasti masyarakat, karena anggaran itu kan dasarnya ditujukan untuk kebermanfaatan masyarakat,” lanjutnya.
Sebelumnya, peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam ‘Peluncuran Laporan Hasil Pemantauan Tren Vonis Korupsi Tahun 2023’, Senin (14/10), mengatakan jumlah uang pengganti yang dituntut Kejagung lebih besar dibanding KPK.
Kejagung total menuntut uang pengganti hingga Rp82 triliun, sedangkan KPK hanya Rp675 miliar.
Sahroni menyebut tren pengembalian kerugian negara akan menjadi concern penegakkan hukum ke depan.
“Pemaksimalan pengembalian kerugian negara telah menjadi concern Komisi III bersama mitra kerja. Dan ke depannya, pendekatan ini akan semakin kita gencarkan. Karena terbukti bahwa menambal kerugian negara itu jauh lebih penting ketimbang sekedar penjara badan, yang cenderung tidak solutif, tidak efektif, dan sering memakan biaya besar,” ucapnya.
Wakil rakyat dari Dapil Jakarta III (Jakarta Utara, Jakarta Barat, dan Kepulauan Seribu) itu menegaskan tidak ingin anggaran negara yang sebagian besar berasal dari pajak, dikorupsi sehingga manfaatnya tidak bisa dirasakan oleh masyarakat.
“Misalnya, ada proyek pengerjaan jalan untuk masyarakat. Kalau dikorupsi, ya pasti pengerjaannya jadi jelek, cepet rusak. Yang begitu kan percuma kalau pelakunya cuma dipenjara, masyarakatnya tetep rugi dapet jalanan rusak. Makanya, kita maksimalkan pengembalian kerugian negaranya, biar bisa kembali manfaat untuk masyarakat,” tutup Sahroni.
Komentar