Pedomanrakyat.com, Jakarta – Mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfud MD mengatakan, salah satu isu yang timbul dari Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memisahkan pemilihan umum (pemilu) nasional dan daerah mulai 2029 adalah wacana masa jabatan anggota DPRD diperpanjang.
Pasalnya dalam pertimbangan MK, pemilihan anggota DPRD dilaksanakan bersamaan dengan Pilkada dalam kurun waktu dua tahun sampai dua tahun enam bulan pasca pelantikan presiden/wakil presiden.
Ia menilai, MK bisa saja buang badan dan menyerahkan polemik tersebut kepada pembentuk undang-undang.
Baca Juga :
“Tentu saja MK bisa buang badan, karena di dalam putusan MK, butir 3.16 itu disebutkan masa transisi yang seperti itu yang kita persoalkan 2,5 tahun itu, itu diserahkan ke pembentuk undang-undang, ke Presiden dan DPRD untuk mengatur,” ujar Mahfud dalam siniar Terus Terang di kanal Youtubenya @Mahfud MD Official, dikutip Kompas.com, Jumat (11/7/2025).
Ia menjelaskan, pemerintah bisa menunjuk penjabat (Pj) kepala daerah untuk mengisi kekosongan selama masa transisi dau tahun sampai dua tahun enam bulan itu.
Namun untuk anggota DPRD yang jumlahnya sangat banyak, tentu pemerintah tidak bisa menunjuk penjabat atau membiarkan posisi itu kosong selama dua tahun.
” DPRD tidak bisa pakai penjabat karena harus orang yang dipilih, dan jika ditunda 2,5 tahun terjadi kekosongan,” ujar Mahfud.
Karenanya, ia menilai Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 menimbulkan kerumitan hukum, tetapi harus diterima karena sifatnya yang final dan mengikat.
“Putusan MK ini menurut saya harus diterima meskipun menimbulkan kerumitan hukum,” ujar Mahfud.
Ada Presedennya
Sementara itu, Kepala Biro Hukum dan Administrasi Kepaniteraan MK Fajar Laksono Suroso menyebut, Indonesia sudah memiliki pengalaman memperpanjang masa jabatan anggota DPRD pada masa lalu.
Hal tersebut disampaikannya ketika menjawab adanya wacana perpanjangan masa jabatan DPRD akibat putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024, yang memisahkan pemilu nasional dan daerah mulai 2029.
Ia menjelaskan, pada 1971, masa jabatan anggota DPR saat itu diperpanjang satu tahun untuk menyelaraskan pemilu pada 1977. Sehingga masa jabatan anggota DPR saat itu menjadi enam tahun.
Hal serupa juga terjadi pada 1998, di mana masa jabatan anggota DPR dipotong satu tahun karena adanya tuntutan pemilu ulang dan reformasi.
“Katakanlah ya, ini sebagai contoh, katakanlah ada perpanjangan masa jabatan DPR, toh kita juga sudah punya presedennya,” ujar Fajar dalam webinar yang digelar Pusat Studi Hukum Konstitusional (PSHK) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII), Kamis (10/7/2025).
Fajar mengatakan, MK sendiri paham adanya konsekuensi akibat keluarnya putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 itu.
Namun, ia menjelaskan bahwa keputusan untuk memisahkan pemilu nasional dan daerah mulai 2029 memiliki landasan konstitusional, yuridis, dan teoretik yang kuat.
MK, kata Fajar, mempersilakan pembentuk undang-undang untuk melakukan rekayasa konstitusional, dalam menindaklanjuti putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 tersebut.
“Jadi menurut saya, pembentuk undang-undang diberikan apa ya, keluasan oleh MK untuk melakukan rekayasa konstitusional, untuk memastikan apa yang disebut sebagai pemisahan pemilu nasional dan lokal itu tadi,” ujar Fajar.
Sebagai informasi, MK memutuskan memisah antara pemilu nasional dan daerah mulai 2029 dalam putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024.
Artinya, pemilu nasional hanya ditujukan untuk memilih anggota DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden. Sedangkan Pileg DPRD provinsi hingga kabupaten/kota akan dilaksanakan bersamaan dengan Pilkada.
Dalam pertimbangan hukum, MK mengusulkan agar pemilihan legislatif (Pileg) DPRD yang bersamaan dengan pilkada digelar paling cepat dua tahun setelah pelantikan presiden/wakil presiden. Atau paling lama dua tahun enam bulan setelah pelantikan presiden/wakil presiden.

Komentar