Pedoman Rakyat, Jakarta – Setelah sebelumnya lima kursi jabatan di Komisi Pemberantasan korupsi (KPK) dijabat Anggota Polri, pagi tadi Firly Bahuri dikabarkan mengangkat empat orang lainnya untuk mengisi sejumlah jabatan di Komisi anti rasuah tersebut.
Masing-masing adalah Deputi Penindakan dan Eksekusi, Irjen Karyoto, Direktur Koordinasi dan Supervisi I, Brigjen Didik Agung Wijanarko, Direktur Koordinasi dan Supervisi II, Brigjen Yudhiawan serta Direktur Koordinasi dan Supervisi III, Brigjen Bahtiar Ujang Purnama.
Dengan pelantikan empat orang tersebut, kini setidaknya 9 jabatan di KPK telah diisi oleh anggota korps Bhayangkara.
Baca Juga :
Kendati KPK sendiri menjaminkan profesionalisme, namun Indonesian Corruption Watch (ICW) melalui salah seorang penelitinya, Kurnia Ramadhan menyatakan, KPK semenjak diera Jendral Bintang Tiga Polri (Firly Bahuri), terlihat ada trend penunjukan pejabat KPK diisi oleh anggota dari Korps Bhayangkara.
“Saat ini saja, pascapelantikan, setidaknya ada sembilan perwira tinggi Polri yang bekerja di KPK, di antaranya 7 pada level direktur, 1 pada level deputi, dan 1 pada level pimpinan,” ujarnya kepada awak media, selasa kemarin.
Kurnia mengatakan, pada dasarnya pelantikan puluhan pejabat baru KPK ini telah mengarah pada penyalahgunaan kewenangan pimpinan KPK.
“Kebijakan untuk melantik puluhan pejabat KPK itu juga dapat dinilai sebagai tindakan penyalahgunaan kewenangan oleh pimpinan. Hal itu dikarenakan landasan hukum yang dijadikan dasar pelantikan bermasalah,
Menurut Kurnia, perubahan regulasi KPK menjadi UU Nomor 19 Tahun 2019 tidak diikuti dengan pergantian substansi Pasal 26 dalam UU Nomor 30 Tahun 2002. Artinya, kata dia, nomenklatur struktur KPK harus kembali merujuk pada Pasal 26 UU Nomor 30 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2019.
“Yaitu, pertama Bidang Pencegahan, kedua Bidang Penindakan, ketiga Bidang Informasi dan Data, keempat Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat,” ujar Kurnia.
Namun, Kurnia menilai Perkom Nomor 7 Tahun 2020 malah menambahkan nomenklatur baru. Misalnya, Deputi Bidang Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat, Inspektorat, Staf Khusus, dan sebagainya.
“Ini menunjukkan bahwa Keputusan Pimpinan KPK Nomor 1837 Tahun 2020 tentang Pengangkatan dan Pengukuhan dalam Jabatan Pimpinan Tinggi dan Administrator pada Komisi Pemberantasan Korupsi bertentangan dengan UU Nomor 19 Tahun 2019 dan tidak dapat dibenarkan,” tegasnya. (dir)
Komentar