Pedoman Rakyat – Sebelum lebih lanjut mari kita ingat sejarah pembentukan Pancasila. Mulanya dibentuklah BPUPKI yang mengadakan sidang pada 29 Mei-1 Juni 1945. Pancasila petama kali dicetuskan oleh Ir. Soekarno, melalui pidatonya tanggal 1 Juni 1945. Beliau mengusulkan pancasila sebagai dasar negara atau disebut Weltanschauung hingga pada tanggal disebut diperingati sebagai Hari Lahirnya Pancasila.
Pancasila disebut sebagai sumber dari sumber segala hukum, hal tersebut dipertegas oleh Pasal 2 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Sehingga UU tersebt mengandung makna bahwa Pancasila berkedudukan sebagai dasar yuridis, filosofis, dan ideologi negara, dengan kata lain dalam suatu peraturan perundang-undangan materi muatannya tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.
Seperti yang kita ketahui bahwa Pancasila memiliki lima sila. Setiap sila memiliki nilai-nilai berbeda yang terkandung di dalamnya. Sila-sila pancasila merupakan satu kesatuan, sehingga antara sila saling melengkapi dan menguatkan. Nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila sudah ada dan berasal dari bangsa Indonesia sendiri.
Dengan kata lain pancasila ini merupakan kepribadian bangsa Indonesia sendiri. Sehingga pancasila menjadi ciri khas dari Indonesia. Pada sila pertama mengandunh nilai keruhanan. Sila pertama melandasi pada sila-sila dibawahnya, sehingga sila kedua sampai kelima tidak boleh bertentangan dengan sila pertama.
Sila kedua mengandung nilai keadilan, yangmana menjadi landasan dari sila dibawahnya. Untuk sila ketiga mengandung nilai persatuan yang menjadi dasar dari sila keempat mengandung nilai kerakyatan dan dila kelima mengandung nilai keadilan. Terkhusus pada sila kelima Pancasila, sila inilah perwujudan yang konkrit dari prinsip-prinsip pancasila.
Makna dari sila Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia adalah rakyat Indonesia berhak hidup sejahtera atas dasar prinsip keadilan dengan berdasarkan prinsip welfare state (negara kesejahteraan). Negara kesejahteraan mengisyaratkan bahwa keadilan mencakup di segala aspek kehidupan. Keadilan tidak hanya diartikan adil dalam sektor ekonomi dan pembangunan saja.
Namun keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia untuk mendapatkan pelakuan yang sama di depan hukum dan pelakuan yang sama dalam mengakses hukum di Indoneisa. Beralih pada positivisme (aliran positivisme hukum), yang merupakan salah satu aliran hukum yang terkenal dalam dunia hukum. Positivisme ini muncul pada abad XVIII-XIX dan berkembang di Eropa Kontinental, khususnya Prancis (Rahardjo, 1995: 267).
John Austin sebagai bapak ilmu hukum Inggris merupakan pemikir positivisme hukum yang terkemuka. Pendapatnya dikenal dengan istilah analytical jurisprudence yang berpendirian bahwa hukum adalah perintah dari penguasa yang dituangkan dalam bentuk perundang-undangan, jadi unsur yang terpenting dari hukum adalah perintah (command).
Menurut Positivisme hukum, hukum itu adil apabila sudah sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku dan tindakan hakim harus patuh terhadap undang-undang yang berlaku. Dengan kata lain hukum hanya dikaji secara lahiriyah saja tanpa memperhatikan nilai dan norma lain yang ada, seperti keadilan, kebermanfaatan, kebijaksanaan, dan lain-lain.
Oleh karena itu apabila hukum dikaji secara positivisme, hukum memisahkan antara moral dengan hukum. Dalam artian hukum tidak lagi berpacu pada moral melainkan harus sesuai dengan Undang-Undang dan alat bukti. Oleh karena itu pola pikir positivisme menganggap Undang-Undang itu sangat penting terlepas dari penegakkan keadilan yang seutuhnya, sehingga hukum terkesan pilih-pilih.
Positivisme hukum semakin memperjelas bahwa hukum di Idonesia tajam ke bawah tumpul ke atas. Padahal esensi dari hukum sendiri adalah membela kebenaran dan menegakkan keadilan bagi setiap orang itu sendiri. Hukum yang berdasarkan pancasila haruslah adil bagi seluruh rakyat Indonesia, rakyat harus diperlakukan sama dalam hukum.
Perlakuan hukum yang adil ialah perlakuan hukum yang tidak membedakan antar golongan, semua berhak mendapatkan keadilan di mata hukum. Hukum tidak hanya yang tertulis dalam sebuah teks berupa kumpulan aturan-aturan tetapi juga merupakan sesuatu yang hidup dalam masyarakat. Munculnya aliran positivisme hukum sangat mempengaruhi penegakkan hukum di Indonesia.
Aliran positivisme ini melahirkan konsep hukum positif, yaitu seperangkat ketentuan hukum tertulis yang mengandung perintah. Selain itu hukum tertulis tersebut dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang dan mengandung perintah yang ditetapkan oleh penguasa atau negara, yang berwujud perintah yang harus ditaati karena mengandung sanksi, seperti KUHP, KUHAP, dll.
Positivisme terlihat pada kasus-kasus yang pernah terjadi di Indonesia, seperti kasus Nenek Minah, kasus Baik Nuril, kasus Kakek Samirin. Mereka orang-orang yang buta hukum yang terpaksa harus menjalankan perintah undang-undang dan harus terpaksa menjalani hukuman. Apabila dibandingan dengan kasus korupsi yang mendapat peringanan hukuman karena sering mengumrohkan karyawannya itu tidak sebanding dengan perbuatan yang dilakukan para koruptor.
Mereka hanya membuat kesalahan kecil yang seharusnya dapat diselesaikan secara baik-baik tidak harus dibawa ke meja hijau. Kasus yang menimpa orang-orang kecil inilah yang semakin membuat ketara bahwa hukum tajam ke bawah tumpul ke atas. Aliran positivisme menjadi polemik dan menimbulkan suatu permasalahan hukum.
Positivisme hukum terlalu yang terlalu mengedepankan legal formal dan kepastian hukum yang mengesampingkan nilai-nilai keadilan. Dari sudut pandang Pancasila, aliran Positivisme ini telah bertentangan dengan Pancasila terhusus pada sila kelima Pancasila. Meskipun tidak sepenuhnya bertentangan, namun positivisme tidak boleh dibiarkan berkembang pada hukum Indonesia.
Sudah seharusnya tidak semua perkara di pengadilan dikaji menggunakan positivisme, hakim dalam memutus perkara selain memperhatikan kepastian hukum juga harus memperhatikan nilai keadilan dan kebermanfaatan. Sudah saatnya positivisme hukum dikesampingkan dengan menggunakan terobosan baru yang lebih mengedepankan unsur obyektiivitas dan keadilan.
Hukum progresif menjadi salah satu alternatif dari dampak negatif yang ditimbulkan positivisme hukum. Dalam memutuskan sebuah perkara, hakim harus lebih mengedepankan pertimbangan hukum dengan pemikiran yang progresif. Dengan kata lain penegakan hukum dilaukan dengan penuh determinasi, empati, dedikasi.
Serta diperlukan keberanian para penegak hukum untuk mencari jalan berupa terobosan atau berkaca pada histori hukum yang sebelumnya yang dianggap adil bagi semua pihak. Sudah saatnya Indonesia kembali mengutamakan nilai-nilai pancasila dalam penegakkan hukum di Indonesia. Positivisme hukum tidak dapat diberlakukan secara meyeluruh pada hukum di Indonesia.
Hakim dalam memutus perkara tidak hanya memutus berdasarkan pada rumusan pasal yang didakwakan namun hakim wajib menerapkan nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila, Kode Etik Hakim, Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman. Hakim menegakkan hukum juga harus menegakkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat termasuk nilai keadilan sosial.
Menegakkan hukum harus mengalisis makna dan tujuan hukum itu sendiri, bukan hanya menerapkan aturan perundang-undangan yang tertulis. Hakim wajib menghadirkan tujuan hukum yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Hakim wajib memutus perkara dengan keyakinannya serta dilandasi pada kebijaksanaannya.

 
 
 
 
 
 
Komentar