Pedoman Rakyat, Jakarta – Persyaratan administrasi menjadi masalah besar bagi kelompok yang mengatasnamakan waria. Padahal, sederet program jaring pengaman sosial seperti bansos digelontorkan pemerintah dalam rangka mengantisipasi dampak ekonomi kebijakan penanganan pandemi COVID-19.
Sayangnya, hampir semua program tersebut memiliki berbagai persyaratan administrasi yang justru menjadi kesulitan lain bagi masyarakat buat mengakses bantuan.
Kendala ini juga turut dirasakan kelompok transpuan atau waria yang sebagian besar kehilangan pekerjaan sejak pandemi COVID-19 merebak. Ini diamini oleh Manajer Program Yayasan Kebaya Ruly Mallay. Kebaya ini merupakan yayasan yang menjadi rumah singgah kelompok transpuan di Yogyakarta.
Menurut Rully, KTP menjadi salah satu kendala sebagian besar transpuan kesulitan mendapatkan akses layanan publik, layanan kesehatan, hingga bantuan sosial. Selain karena sebagian besar misalnya memiliki KTP yang tak sesuai dengan domisili karena notabene perantau, sebagian juga karena memang belum mendapatkan kartu identitas elektronik itu sampai sekarang.
“Teman-teman yang benar-benar berdomisili kadang-kadang dilewatkan pendataannya, karena dianggap komunitasnya mungkin secara tidak sengaja atau mungkin sengaja mereka terlewatkan dari pencatatan. Bahwa mereka sangat layak mendapatkan akses bantuan langsung tunai, pendidikan rata-rata kurang, skil juga kurang, penghasilan jelas kurang sekali,” ungkap Rully seperti dikutip dari Kumparan.
Alhasil, susahnya mengakses bantuan di tengah kehilangan penghasilan membuat sebagian besar bertahan sendirian di kosan atau kontrakan. Situasi tersebut, membuat setidaknya belasan transpuan meninggal di tengah pandemi justru karena persoalan lain seperti kekurangan asupan gizi.
“Itu terjadi dari awal pandemi ini, 11 kawan-kawan yang meninggal lebih banyak karena infeksi, terus kekurangan asupan nutrisi, vitamin, pengobatan yang tidak komprehensif. Itu beberapa faktor penyebabnya bukan justru karena COVID-19,” sambungnya.
Komentar