Pedoman Rakyat, Jakarta – Publik sedang ramai membicarakan sosok Nissa Sabyan. Pelantun lagu religi itu dituding sebagai perebut laki (suami) orang atau biasa disebut pelakor. Jika ditinjau dari sisi kesehatan, pelakor bisa dikategorikan sebagai peyakit mental.
Seperti yang diungkap pakar psikologi Ikhsan Bella Persada, M.Psi, di portal klikdokter.com. Tak ada wanita yang ingin kehadiran pelakor. Tapi, bagaimana jika ada wanita yang gemar merusak hubungan orang? Apakah ini termasuk gangguan mental?
Setiap wanita rasanya tak ada yang menginginkan hadirnya pelakor dalam hubungan mereka. Tidak hanya satu, ada banyak pelakor yang mungkin sudah berhasil merusak hubungan pasangan kekasih atau bahkan pernikahan.
Baca Juga :
Apakah pelakor, apalagi jika dilakukan berkali-kali oleh orang yang sama, bisa disebut punya gangguan mental?
Setiap perbuatan pasti ada sebabnya. Begitu juga dengan pelakor yang mungkin melakukan aksi karena satu atau dua hal di masa lalunya.
Menurut psikolog Ikhsan, perilaku merebut pasangan orang lain dapat dilandasi oleh banyak faktor. Salah satu penyebab pelakor adalah karena adanya perasaan kompetitif dengan orang lain.
“Kompetitif dalam bidang-bidang tertentu memang baik. Tapi kalau kompetitif dalam merebut pasangan orang lain, tidak boleh diikuti,” ujar Ikhsan.
“Dengan berhasil mendapatkan pasangan orang lain, rasa percaya diri sang pelaku meningkat. Dia akan merasa lebih hebat, dan merasa lebih dari segala sisi dari sang korban,” dia menambahkan.
Tak hanya itu saja, seseorang yang gemar menjadi pelakor juga mungkin membutuhkan kasih sayang yang tidak didapatkan dari orang lain. Hanya saja, pelakor memiliki kontrol diri yang rendah.
Ketika dorongan untuk memenuhi rasa kasih sayang itu ada, pelaku tidak bisa menilai norma yang ada. Pelaku juga merasa tidak bersalah karena tidak tahu norma yang baik seperti apa.
Tapi perlu diingat terlebih dahulu, tidak hanya wanita saja yang bisa menjadi pelakor. Laki-laki juga bisa melakukan hal yang sama.
Menurut studi yang dipublikasikan dalam Psychology Today, laki-laki di Amerika Selatan, Asia, Afrika, dan Eropa lebih sering mencoba merebut pasangan orang lain, ketimbang wanita.
Bahkan, kondisi ini hanya dilakukan untuk kesenangan pribadi tanpa melihat perasaan orang lain. Menanggapi pertanyaan ini, psikolog Ikhsan mengatakan bahwa tidak semua pelakor bisa dikatakan punya gangguan mental.
Jika memang dilakukan karena tidak sengaja dan sudah terbuai suasana, hal ini tidak bisa dikatakan sebagai gangguan mental.
Namun, jika merebut pasangan orang sudah dijadikan sebagai hobi, rutinitas, dan punya niatan untuk menarik perhatian agar viral, bisa jadi pelaku sudah gangguan kepribadian narsistik.
Narsistik sendiri merupakan gangguan kepribadian di mana pelaku merasa dirinya lebih baik, lebih penting, serta tidak peduli dengan orang lain dan lingkungan sekitar.
Jika memang pelaku membutuhkan kasih sayang, ada baiknya jika mereka mencari kasih sayang dari orang yang tepat dan belum punya pasangan.
Pelaku bisa membuka hati untuk orang lain melalui aplikasi pencarian jodoh, atau sekadar koneksi dari teman.
Jika memang yang dibutuhkan adalah faktor ekonomi, bekerjalah sesuai bidang yang disukai. Jika memang pemasukan yang didapatkan tidak cukup, coba cari dana lebih dari kerja freelance, magang, dan berbisnis.
Meski pelakor tidak selalu bisa dikatakan dampak gangguan mental, perilaku tersebut tetap tidak bisa dimaklumi. Coba posisikan diri menjadi korban, apakah Anda mau merelakan pasangan demi pelakor?
Komentar