Pedoman Rakyat, Jakarta – Muktamar ke-34 Nahdlatul Ulama (NU) menghadirkan persaingan empat kandidat kuat calon ketua umum Pengurus Besar NU (PBNU) yakni KH Said Aqil Siroj sebagai petahana, Katib Aam PBNU Yahya Cholil Staquf, mantan Wakil Ketua Umum PBNU KH As’ad Said Ali, dan Ketua Pengurus Wilayah NU (PWNU) Jawa Timur KH Marzuki Mustamar.
Tiap kandidat yang bersaing kali ini memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing.
Dosen Ilmu Politik dan International Studies Universitas Paramadina A Khoirul Umam menyebut Said selama kepemimpinannya di NU di 10 berhasil membangun basis dukungan yang kuat di tingkat PWNU, Pengurus Cabang NU (PCNU), dan Pengurus Cabang Istimewa NU (PCINU).
Baca Juga :
“Kiai Said juga dianggap tokoh sentral yang berhasil mengawinkan pasangan Presiden Jokowi dan Wapres Ma’ruf Amin sebagai representasi bersatunya kelompok nasionalis dan Islam moderat di PIlpres 2019 lalu,” kata Umam dalam keterangan tertulisnya yang diterima di Jakarta, Rabu (22/12/2021).
Meski begitu, Umam mengidentifikasi potensi munculnya narasi-narasi yang cukup kontroversial, seperti pentingnya regenerasi di tubuh NU, kuatnya politisasi PBNU, hingga tuduhan terkait adanya pemalsuan tanda tangan Rais Aam oleh elemen tim Said, beberapa waktu lalu. Oleh sebab itu, Umam menekankan pentingnya bagi tim Said untuk dapat menetralisir berbagai narasi negatif demi kemenangan dalam muktamar.
Kandidat kedua yang berpotensi menjadi pesaing berat Said, yakni Cholil. Umam menuturkan Cholil memiliki keleluasaan untuk membina komunikasi dengan PWNU dan PCNU di daerah yang berkhidmat di Kementerian Agama (Kemenag). Hal ini tak terlepas dari keberadaan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas yang merupakan adik kandung Yahya.
“Selain itu, secara politik, Kiai Yahya dianggap sebagai tokoh baru yang berpotensi mengubah pola relasi antara NU dengan sejumlahs stakeholders di Tanah Air, mulai dengan partai-partai politik tertentu hingga ormas-ormas lain yang selama ini cukup sering bersitegang dengan NU di bawah kepemimpian Kiai Said yang cenderung memiliki gaya komunikasi yang terbuka dan apa adanya,” ungkap Umam.
Akan tetapi, menurut Umam, ada narasi negatif yang berpotensi melemahkan posisi Yahya, seperti kehadirannya dalam sebuah forum internasional di Tel Aviv, Israel.
Jika berhasil meredam narasi negatif tersebut, Yahya berpotensi dapat sukses mengonsolidasikan kekuatannya.
Muncul dua tokoh potensial yang menjadi calon alternatif, As’ad dan Marzuki. Umam melihat adanya potensi As’ad untuk menjadi “kuda hitam” dalam muktamar kali ini.
Hal tersebut ditentukan oleh seberapa intensif dan sistematis strategi pendekatannya. Majunya As’ad juga berpotensi memecah dukungan antara dua kandidat Said dan Yahya.
“Siapa yang tergerus, akan ditentukan oleh siapa pihak yang mampu berkomunikasi lebih baik dengan tim Kiai As’ad,” tutur Umam.
Sementara untuk Marzuki, Umam melihat tokoh tersebut belum memiliki peluang signifikan untuk maju di muktamar saat ini. Hal ini tak terlepas dari kuatnya dukungan PWNU Jawa Timur dalam mendukung Yahya.
Selain itu, ada juga faktor dukungan dari Rais Aam KH Miftakhul Akhyar yang telah terungkap melalui komunikasi secara implisit.
“Maka, jika Kiai Marzuki Mustamar mengajukan diri atau mendukung Kiai Said di Muktamar kali ini, akan membuatnya ‘sungkan’ dan harus berpikir ulang karena harus berhadapan dengan Rais Aam KH Miftakhul Akhyar dan juga jajaran PWNU Jawa Timur secara general,” ucap Umam.
Komentar