Pedomanrakyat.com, Jakarta – Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengklaim terjadi banyak penyelewengan dalam pelaksanaan dana transfer ke daerah alias TKD.
Maraknya penyelewengan itu kemudian menjadi dalih bagi pemerintah untuk menurunkan alokasi transfer ke daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2026.
Purbaya menjelaskan kebijakan pemotongan itu lebih didorong oleh upaya meningkatkan efektivitas belanja daerah, setelah sebelumnya ditemukan banyak penyelewengan penggunaan dana.
Baca Juga :
“Alasan pemotong itu utamanya dulu karena banyak penyelewengan, ya. Artinya enggak semua uang yang dipakai, dipakai dengan betul. Jadi, itu yang membuat pusat agak, bukan saya ya, pemimpin-pemimpin itu agak gerah dengan itu,” ujar Purbaya kepada awak media di Surabaya, Kamis (2/10/2025).
Dia mengaku bahwa transfer ke daerah pada tahun depan turun hingga Rp200 triliun. Kendati demikian, dia mengaku pemerintah pusat menambah signifikan alokasi program di daerah.
Nilainya, sambung Purbaya, meningkat dari Rp900 triliun pada tahun sebelumnya menjadi Rp1.300 triliun pada 2026. Oleh sebab itu, dia meyakini pembangunan di daerah akan terus berlanjut, bahkan lebih banyak.
“Jadi kita ingin melihat kinerja keuangan yang lebih efektik,” kata Purbaya.
Di samping itu, mantan ketua dewan komisioner Lembaga Penjamin Simpanan itu mengakui bahwa pengurangan transfer ke daerah tidak bisa dilakukan secara besar-besaran secara tiba-tiba.
Akhirnya, pemerintah menambahkan Rp43 triliun transfer ke daerah pada pagu anggaran 2026. Hanya saja, dia mengingatkan pemerintah daerah perlu memperbaiki kualitas penyerapan anggaran agar tidak menimbulkan persoalan hukum di kemudian hari.
Bahkan, Purbaya berjanji jika perekonomian nasional terus membaik dan penerimaan pajak meningkat maka pemerintah pusat membuka ruang untuk menambah alokasi transfer ke daerah pada tahun depan.
“Jadi kalau mereka [pemerintah daerah] bisa menunjukkan seperti itu, penyerapan yang baik dan bersih, harusnya saya bisa merayu ke pemimpin saya di atas untuk menambah [transfer ke daerah] dengan cepat. Jadi itu utamanya, kalau uang kita—ekonominya—bagus, pajaknya makin besar kita akan tambah ke daerah,” tutup Purbaya.
Dana Mengendap di Bank
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat bahwa jumlah dana pemerintah daerah (pemda) yang mengendap di perbankan mencapai Rp233,11 triliun per Agustus 2025.
Jumlah dana pemda yang mengendap di perbankan pada Agustus 2025 merupakan rekor tertinggi selama 5 tahun terakhir.
Sebagai perbandingan, pada Agustus 2021, misalnya, dana pemda yang mengendap di perbankan mencapai Rp178,95 triliun, Rp203,42 triliun (2022), Rp201,31 triliun (2023), Rp192,57 triliun (2024).
“daerah perlu terus didorong untuk akselerasi belanja agar APBD mampu memberikan stimulus bagi perekonomian daerah,” demikian dikutip dari paparan Kemenkeu, Senin (22/9/2025).
Kemenkeu juga memaparkan bahwa pemda di Pulau Jawa mendominasi jumlah pemda yang mengendapkan dananya ke perbankan yakni sebanyak 119 pemda senilai Rp84,7 triliun atau 36,37%, Kalimantan (61 pemda) Rp51,34 triliun atau 22,03%, Sumatra(164 pemda) Rp43,63 triliun atau 18,71%.
Selanjutnya di Sulawesi (87 pemda) Rp19,27 triliun atau 8,27%, Maluku dan Papua (67 pemda) senilai Rp17,34 triliun atau 7,44%, serta Bali dan Nusa Tenggara senilai Rp16,75 triliun atau 7,19%.
Otoritas fiskal berharap Pemda segera membelanjakan dana-dana yang mengendap di perbankan supaya ikut mendorong pertumbuhan ekonomi di daerah.
Kritik Sentralisasi
Nuansa sentraliasi anggaran ke pemerintah pusat semakin menguat dalam postur APBN 2026.
Ekonom Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya Joko Budi Santoso menilai hal ini diperkuat dengan perkiraan TKD 2026 yang menurun sekitar 29,34%, dari Rp.919,87 triliun pada 2025 menjadi Rp649,99 triliun pada 2026.
“Di sisi lain, belanja pemerintah pusat naik sekitar 16,46%,” ujar Joko, Rabu (1/10/2025).
Belanja pemerintah pusat yang mengalami kenaikan pada 2026, kata dia, difokuskan untuk pendaan program-program prioritas di antaranya ketahanan pangan, ketahanan energi, MBG, sekolah rakyat, dan sekolah unggulan garuda, pemeriksaan kesehatan gratis, koperasi merah putih, modernisasi alutsista dan pertahanan siber, dan investasi di sektor bernilai tambah tinggi.
Selain itu, kata dia, beban pembayaran utang pada 2026 yang mencapai hampir Rp600 triliun memaksa pemerintah pusat untuk tetap menjalankan efisiensi anggaran, dengan salah satunya memangkas TKD.
Pemangkasan TKD ini terdiri atas DBH 2025 dari Rp192,28 triliun pada 2025 menjadi Rp45,07 triliun atau turun sekitar 76,56%. Kemudian DAU dari Rp446,63 triliun menjadi Rp373,81 triliun pada 2026 atau turun sekitar 16,3%.
Sementara itu, DAK turun 16,28% menjadi Rp155,08 triliun pada 2026 dan dana desa turun 14,69% menjadi hanya Rp60,57 Triliun pada 2026. Adapun, Otsus dan dana Istimewa juga mengalami penurunan masing-masing 24,93% dan 58,33%.
Joko menilai penurunan ini dapat berdampak pada penurunan sebagian besar kapasitas fiskal daerah sehingga memaksa pemda untuk melakukan penyesuaian program-program prioritas pemda.
Dengan pemangkasan TKD ini, Pemda harus berusaha lebih keras untuk meningkatkan PAD tanpa melakukan peningkatan tarif pajak daerah untuk menghindari gejolak di masyarakat maupun mengganggu iklim usaha di daerah. Menurutnya, optimalisasi aset dan intensifikasi perpajakan menjadi kunci dalam peningkatan PAD. Penggalian sumber-sumber alternatif pembiayan maupun creative financing juga harus dilakukan.
Penguatan sinergi dengan swasta/badan usaha dalam pengelolaan dan pemanfaatan asset daerah mutlak dilakukan dan termasuk sinergi dalam pemanfaatan CSR yang saling memberikan manfaat.
Di samping itu, partisipasi masyarakat melalui swadaya dalam pembiayaan program Pembangunan juga harus diharmonisasikan. Hal yang tak kalah penting, yakni cost sharing pembiayan program pembangunan dengan pemerintah provinsi maupun pemerintah pusat terhadap program-program pembangunan kabupaten/kota yang in line dengan program provinsi atau pemerintah pusat.
Satu hal lagi yang tak kalah penting, kata Joko, yakni efektifitas dan percepatan belanja daerah agar keterbatasan anggaran tidak menghalangi efektifitas belanja daerah dalam menstimulus perekonomian.
Persoalan penyerapan ini, juga menjadi evaluasi bagi pemerintah pusat, besarnya SiLPA di setiap tahun menunjukkan kurang sinkronnya perencanaan dan penganggaran.
Selain itu, APBD yang sering mengendap di perbankan juga menjadi persoalan yang menghambat tingkat efektifitas belanja daerah. Sampai dengan Agustus 2025, berdasarkan data BI menunjukkan bahwa dana Pemda yang masih mengendap di perbankan mencapai sekitar Rp233,11 tiliun.

Komentar