Sederet Pemicu Demo Mematikan di Nepal yang Tewaskan 22 Orang: Hidup Mewah Anak Pejabat hingga Sulitnya Pekerjaan

Nhico
Nhico

Rabu, 10 September 2025 14:25

Sederet Pemicu Demo Mematikan di Nepal yang Tewaskan 22 Orang: Hidup Mewah Anak Pejabat hingga Sulitnya Pekerjaan

Pedomanrakyat.com, Nepal Nepal diguncang demonstrasi berdarah yang melengserkan Perdana Menteri Sharma Oli. Demonstran membakar sejumlah gedung pemerintah termasuk gedung parlemen. Sebanyak 22 orang tewas dan lebih dari 100 orang terluka akibat bentrokan dengan polisi.

“Mengingat situasi yang tidak menguntungkan di negara ini, saya telah mengundurkan diri efektif hari ini untuk memfasilitasi penyelesaian masalah dan membantu menyelesaikannya secara politis sesuai dengan konstitusi,” tulis PM Nepal Sharma Oli dalam suratnya kepada Presiden Ramchandra Paudel pada Selasa, 9 September 2025, setelah pemerintahannya disalahkan atas pecahnya kerusuhan paling berdarah dalam satu dekade. Apa penyebab demonstrasi di Nepal?

Dipicu Gaya Hidup Mewah Anak Pejabat

Menurut laporan dari Al Jazeera, pemicu utama protes ini adalah berkembangnya persepsi bahwa keluarga-keluarga elite penguasa menjalani kehidupan yang mewah di Nepal, negara yang miskin. Akibatnya terjadi kesenjangan yang dalam antara kelompok kaya dan miskin.

Di media sosial Nepal, istilah “nepo kids” menjadi viral beberapa minggu menjelang protes hari Senin. Nepo kids merupakan plesetan dari nepotisme. Istilah ini umumnya digunakan untuk merujuk pada anak-anak pejabat tinggi pemerintah dan menteri.

Pejabat pemerintah dan politisi Nepal telah lama menghadapi tuduhan korupsi dan ketidakjelasan mengenai bagaimana uang publik dibelanjakan. Sebagian dari dana publik, dicurigai digunakan untuk mendanai gaya hidup mewah yang dinikmati keluarga para pejabat. Padahal gaji resmi pejabat di Nepal tergolong kecil.

Beberapa video di platform media sosial seperti TikTok dan Instagram menunjukkan kerabat pejabat pemerintah dan menteri bepergian atau berpose di samping mobil mahal. Mereka juga mengenakan pakaian bermerek dari desainer ternama.

“Kemarahan atas ‘anak-anak nepo’ di Nepal mencerminkan frustrasi publik yang mendalam,” kata Yog Raj Lamichhane, asisten profesor di Sekolah Bisnis Universitas Pokhara Nepal. Yang mengejutkan masyarakat Nepal adalah bagaimana para elit politik, orang tua dari anak-anak nepo, yang dulu hidup sederhana sebagai pekerja partai, kini memamerkan gaya hidup mewah layaknya tokoh mapan.

Oleh karena itu, para pengunjuk rasa menuntut pembentukan komisi investigasi khusus untuk menyelidiki secara menyeluruh sumber kekayaan para politisi. Penyelidikan dilakukan karena kekhawatiran yang lebih luas tentang korupsi dan kesenjangan ekonomi di negara ini.

Awal pekan ini, sebuah video di TikTok menampilkan foto Sayuj Parajuli, putra mantan Ketua Mahkamah Agung Nepal Gopal Parajuli, berpose di samping mobil dan restoran mewah. “Terang-terangan memamerkan mobil dan jam tangan mewah di media sosial. Bukankah kita sudah bosan dengan semua itu?” tulis keterangan video.

Video lain menunjukkan gambar serupa dari Saugat Thapa, putra Bindu Kumar Thapa, menteri hukum dan urusan parlemen di pemerintahan Oli.

Ketimpangan di Nepal Antara Si Kaya dan Miskin

Jurang antara orang kaya dan miskin di Nepal amat dalam. Pendapatan per kapita tahunan Nepal, yang sekitar US$ 1.400 atau setara Rp 23 juta, merupakan terendah di Asia Selatan. Tingkat kemiskinan negara ini secara konsisten berada di atas 20 persen dalam beberapa tahun terakhir.

Pengangguran di kalangan pemuda di Nepal telah menjadi tantangan besar. Persentase pemuda Nepal yang menganggur dan tidak mengenyam pendidikan mencapai 32,6 persen pada 2024, dibandingkan dengan 23,5 persen di negara tetangganya India, menurut data Bank Dunia.

Akibatnya, sekitar 7,5 persen penduduk negara itu tinggal di luar negeri pada 2021. Sebagai perbandingan, sekitar 1 persen penduduk India tinggal di luar negeri. Pada tahun 2022, sekitar 3,2 persen penduduk Pakistan berada di luar negeri.

Perekonomian Nepal sangat bergantung pada kiriman uang dari warganya yang bekerja di luar negeri. Pada 2024, kiriman uang pribadi yang diterima mencapai 33,1 persen dari produk domestik bruto (PDB) negara tersebut, salah satu yang tertinggi di dunia, setelah Tonga.

Kepemilikan lahan di Nepal juga tetap timpang meskipun ada upaya reformasi lahan. Sekitar 10 persen rumah tangga teratas memiliki lebih dari 40 persen lahan, sementara sebagian besar penduduk miskin pedesaan tidak memiliki lahan atau bisa dibilang hampir tidak memiliki lahan.

Korupsi, Inflasi dan Pengangguran Memicu Frustasi

Menurut berbagai sumber yang dilansir dari News18, seperti Bangladesh, Nepal juga mengalami “frustrasi digital” akibat korupsi, inflasi, pengangguran, dan politik dinasti. Para analis mencatat bahwa diaspora Nepal memainkan peran penting.

“Sebagaimana jaringan luar negeri Bangladesh memperkuat pesan antikorupsi, diaspora Nepal dan asosiasi internasional memperkuat narasi antikorupsi,” ujar seorang sumber intelijen senior. Jaringan-jaringan ini memperkuat momentum protes di dalam negeri dengan terus-menerus menyulut ketidakpuasan melalui kanal media sosial.

Sumber-sumber menekankan bahwa pola eskalasinya identik. “Di Bangladesh, aktivisme digital dengan cepat menyebar ke jalanan, yang menyebabkan mobilisasi besar-besaran. Nepal mengikuti jejak yang sama, dengan para influencer media sosial dan jaringan aktivis yang memperkuat keluhan kaum muda,” kata sumber-sumber tersebut. Benang merahnya, menurut masukan intelijen, adalah generasi yang kecewa dengan privilese elit dan korupsi sistemik.

Perkembangan terkini di parlemen Nepal semakin memperparah krisis. “Tanda-tanda eskalasi yang ditunjukkan oleh 21 anggota parlemen dari Partai Rastriya Swatantra pimpinan Rabi Lamichhane sebanding dengan aksi mogok oposisi di Bangladesh yang memperdalam pertanyaan tentang legitimasi parlemen,” ujar seorang sumber. Intelijen berpandangan bahwa kebuntuan di parlemen ini dapat menjadi titik api bagi mobilisasi massa yang lebih luas.

Inti dari kedua gerakan ini adalah kemarahan antargenerasi. “Di Dhaka dan Kathmandu, kaum muda memandang kelas politik sebagai korup dan egois, serta enggan mengatasi inflasi atau pengangguran,” ujar beberapa sumber. Sumber-sumber memperingatkan bahwa kebencian semacam itu, jika tidak ditangani, berisiko meruntuhkan sistem kepartaian tradisional.

 Komentar

Berita Terbaru
Metro04 November 2025 22:31
Aliyah Mustika Ilham: dr. Abdul Azis Adalah Simbol Ketulusan dan Pengabdian
Pedomanrakyat.com, Gowa – Wakil Wali Kota Makassar Aliyah Mustika Ilham menghadiri ceramah dan doa bersama mengenang aktivis kemanusiaan sekalig...
Metro04 November 2025 21:29
Lepas Sambut Pangdam Hasanuddin, Wagub Fatmawati Tegaskan Sinergi Pemprov–TNI
Pedomanrakyat.com, Makassar – Wakil Gubernur Sulawesi Selatan, Fatmawati Rusdi, menegaskan pentingnya sinergi yang solid antara Pemerintah Provi...
Daerah04 November 2025 20:30
Pemkab Luwu Timur Gandeng Briton Cambridge Kembangkan Sekolah dan BLK Bertaraf Internasional
Pedomanrakyat.com, Lutim – Pemerintah Kabupaten Luwu Timur (Pemkab Lutim) menandatangi Memorandum of Understanding (MoU) dengan Briton English E...
Daerah04 November 2025 19:26
Wabup Sinjai Mahyanto Tutup Kegiatan Local Digital Heroes 2025
Pedomanrakyat.com, Sinjai – Wakil Bupati Sinjai Andi Mahyanto Mazda secara resmi menutup kegiatan Local Digital Heroes Tahun 2025 untuk Sahabat ...