Pedoman Rakyat, Makassar – Kasus korupsi dana sosialisasi dan penyuluhan SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) di Kecamatan se-Kota Makassar sebesar Rp70.049.999.000 tahun 2017 terus bergulir di Pengadilan makassar.
Terdakwa Mantan Camat Rapocci Hamri Haiya (HH) mulai bernyanyi terhadap kasus yang juga menyeret saudaranya Mantan Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kota Makassar, Erwin Haiya (EH) yang telah divonis 6 tahun penjara oleh pengadilan Tipikor Makassar dengan kerugian negara uang pengganti sebesar Rp18.769.995.330,09. Di mana kasus ini disebut dengan kasus fee 30 persen.
Hamri membeberkan sejumlah fakta baru yang sama sekali belum terpublish. Pernyataan Hamri disampaikan oleh Kordinator divisi pengawasan dan penindakan watch relation of Corruption (WRC) Sulsel, Umar Hankam saat masuk ke Lapas.
Baca Juga :
Pertama kali Umar menceritakan setibanya masuk di Lapas yang beralamat di Jalan Gunung Sari, Makassar. Sebagai pengantar, Umar ini awalnya diminta oleh pihak Hamri untuk bisa masuk ke Lapas.

Tak heran, saat Umar menunggu di kantin ruang besukan petugas dari Lapas Makassar ikut mendampingi. Mengenakan sarung dengan kaos oblong putih, Hamri mengawali percakapannya dengan bicara terkait kondisinya selama kurang lebih satu bulan mendekam di Lapas.
Setelah berselang beberapa menit, Hamri kemudian, kata Umar, mengungkit persoalan yang menjeratnya. Ia mempertegas, kasus yang ditimpa kakaknya yakni Erwin Haiya sebenarnya beda dengan dirinya. “Kasus Fee 30 persen itu yang di sangkakan ke Kakak Saya EH. Sementara berkas perkara saya jalani beda. Namun, mata anggarannya sama tapi saya kasus fee 20 persen yang disalurkan ke legislator periode sebelumnya serta yang masih aktif sekarang,” beber Umar mengutip pernyataan Hamri.
Ia menceritakan polemik kasus ini. Menurut dia, fee 30 persen yang selama ini ramai menjadi Pemberitaan itu sendiri disetor ke Badan Pengelolaan Keuangan dan Asset (BPKA) Pemerintah Kota Makassar yang di mana saat itu dijabat oleh EH (Erwin Hayya) yang telah menyelesaikan proses persidangan tingkat pertama di pengadilan tipikor makassar dengan dibebankan kerugian keuangan negara sebesar 18 milyar rupiah.
“Selama ini yang berkembang di pemberitaan adalah terkait fee 30 persen sementara fee 20 persen lainnya tidak dimunculkan dalam pemberitaan, nah kasus itu yang saya jalani saat ini,” ucapnya.
Hamri, lanjut Umar, berjanji akan mengungkapnya lebih detail saat dilakukan persidangan. Sedianya, kata dia, sidang eksepsi atas dakwaan sudah harus digelar. Namun, wabah virus korona sehingga harus ditunda. “Pada sidang nanti akan membuka perkara fee 20 persen tersebut dan siapa-siapa saja anggota dewan yang menerima fee 20 persen tersebut,” jelasnya. Adapun oknum dewan tersebut dimaksud adalah mereka yang telah terperiksa oleh pihak penyidik. “Semuanya itu yang Sudan diperiksa,” sambungnya lagi.
Sekadar diketahui, terdapat 16 anggota DPRD Kota Makassar periode 2014-2019 sudah diambil keterangannya oleh penyidik dalam kasus ini.
Kemudian, Koordinator Divisi pengawasan dan penindakan WRC Sulsel Umar Hankam, mengharapkan dalam hal ini pihak pengadilan majelis hakim dan jaksa penuntut umum dapat memberikan bersangkutan berupa Surat justice collaborator untuk membuka perkara fee 20% terang menderang. “Tujuannya untuk membantu aparat (penyidik) melakukan penyidikan baru yakni fee 20 persen yang diduga mengalir ke legislator periode sebelumnya,” jelasnya.
Sekadar diketahui, BPK menemukan adanya kerugian negara dengan total sejumlah Rp26,99 miliar lebih. Dalam temuan BPK disebutkan kalau seluruh camat ikut terlibat dan menikmati uang korupsi dari program sosialisasi tersebut.(zul)
Komentar